Proses hukum terhadap tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP, Paulus Tannos, memasuki babak baru dengan digelarnya sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan ini diajukan oleh Paulus Tannos dengan nomor perkara 143/Pid.Pra/PN JKT.SEL untuk menguji sah atau tidaknya penangkapannya. Artikel ini akan mengulas lebih lanjut mengenai jalannya sidang, argumen dari kedua belah pihak, serta implikasi dari status Daftar Pencarian Orang (DPO) yang disandang oleh Tannos.
Dalam sidang ini, Biro Hukum KPK menegaskan bahwa Paulus Tannos tidak dapat mengajukan gugatan praperadilan karena masih berstatus buron atau Daftar Pencarian Orang (DPO). KPK merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018 yang melarang DPO untuk mengajukan peradilan. "Berdasarkan uraian tersebut secara jelas sampai saat ini permohon dalam status daftar pencarian orang (DPO) sehingga pemohon dilarang mengajukan praperadilan," ujar Ariansyah dari Tim Biro Hukum KPK dalam sidang tersebut.
Sebaliknya, pengacara Paulus Tannos, Damian Agata Yuvens, menilai bahwa status DPO yang diterbitkan KPK terhadap kliennya tidak relevan. Damian berargumen bahwa KPK selalu mengetahui keberadaan Tannos, bahkan sempat berkomunikasi dan bersurat dengan penyidik KPK pada November 2021. "Hal ini menyebabkan status DPO pada Pemohon menjadi tidak relevan karena kedudukan Pemohon jelas ada di mana," tegas Damian.
Selain status DPO, KPK juga menanggapi dalil dari kubu Paulus Tannos yang menyebutkan bahwa surat perintah penangkapan tidak sah karena tidak mencantumkan identitas yang lengkap. Martin dari Biro Hukum KPK menjelaskan bahwa tidak dicantumkannya kewarganegaraan lain dari Tannos selain Indonesia sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. "Tidak dicantumkannya kewarganegaraan lain dari pemohon dalam Surat Perintah Penangkapan selain kewarganegaraan Indonesia, telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," jelas Martin.
Martin menambahkan bahwa dalil yang menyatakan identitas tidak lengkap karena tidak dicantumkannya kewarganegaraan Guinea-Bissau adalah pelanggaran terhadap UU Nomor 12 Tahun 2006 yang menghendaki penyebutan kewarganegaraan ganda. "Oleh karena itu dalil permohonan a quo patut untuk dinyatakan ditolak," ujarnya.
Paulus Tannos ditangkap oleh Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura pada 17 Januari 2025. Penangkapan ini berawal dari pengajuan penahanan sementara oleh KPK melalui Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri, yang kemudian diteruskan kepada Interpol Singapura hingga sampai ke CPIB.
Saat ini, Tannos menjalani sidang ekstradisi di Pengadilan Singapura. Meskipun telah ditangkap, Tannos belum bisa langsung dibawa ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sidang praperadilan Paulus Tannos menyoroti berbagai aspek hukum yang kompleks, termasuk status DPO dan masalah kewarganegaraan ganda. KPK meminta majelis hakim PN Jaksel untuk menolak gugatan praperadilan yang diajukan oleh Tannos, dengan alasan bahwa permohonan tersebut bersifat prematur. Proses hukum ini menjadi ujian bagi sistem peradilan Indonesia dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan tokoh penting dan lintas negara. Keputusan akhir dari sidang ini akan menjadi penentu langkah selanjutnya dalam upaya penegakan hukum terhadap kasus korupsi e-KTP.
Kamu harus terdaftar atau login untuk berkomentar Masuk?
redaktur