Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kini memasuki tahap krusial menjelang pengesahan dalam rapat paripurna DPR RI pekan ini. Namun, di tengah proses yang semakin mendekati pengambilan keputusan tingkat II, kritik tajam dari berbagai organisasi masyarakat sipil semakin mengemuka. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP menilai bahwa revisi yang disepakati Komisi III DPR dan pemerintah pada 13 November 2025 tidak menunjukkan perbaikan signifikan.
Menurut koalisi, draf tersebut tidak hanya jauh dari harapan, tetapi juga berpotensi memperkuat praktik penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana. Koalisi tidak hanya menyoroti masalah pasal per pasal, tetapi juga menyoroti cara pengambilan keputusan yang dinilai masih tertutup, terburu-buru, serta minim partisipasi publik.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitahsari, menegaskan bahwa dua hari pembahasan terakhir antara pemerintah dan DPR tidak menghasilkan perubahan signifikan, meskipun berbagai masalah mendasar sudah disuarakan sejak pertengahan 2025. "Dari dua hari proses pembahasan kemarin memang tidak ada perubahan signifikan," kata Iftitahsari dalam konferensi pers, Minggu (16/11/2025).
Menurutnya, perubahan dalam revisi KUHAP seharusnya fokus pada akar persoalan sistem peradilan pidana, terutama terkait penangkapan dan penahanan. Dua instrumen upaya paksa tersebut sangat rentan disalahgunakan aparat di lapangan. Iftitahsari bahkan mencontohkan peristiwa demonstrasi besar pada akhir Agustus 2025 sebagai cermin nyata bahwa praktik serampangan dalam penangkapan dan penahanan masih terjadi.
Di sisi lain, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, menilai bahwa draf RUU KUHAP justru memperluas kewenangan kepolisian. Padahal, tuntutan reformasi Polri adalah menekankan pada pembatasan sekaligus penguatan kontrol. Arif menyebut berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan, seperti penyiksaan, salah tangkap, serta rekayasa kasus, masih kerap terjadi di tubuh Polri.
Atas dasar itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP melayangkan somasi terbuka kepada pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto dan juga DPR RI. Mereka mendesak agar proses pengesahan RUU KUHAP ditunda, karena dianggap sarat manipulasi dan tidak menghadirkan partisipasi publik yang bermakna. Koalisi mengajukan lima tuntutan utama, termasuk permintaan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menarik draf RUU KUHAP dan menuntut DPR membuka seluruh dokumen pembahasan.
Sementara itu, LBH Jakarta menyatakan akan melaporkan seluruh anggota Komisi III DPR RI yang terlibat dalam pembahasan RUU KUHAP ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, mengatakan bahwa proses penyusunan revisi KUHAP penuh dengan pelanggaran etik dan hukum. Dia menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak boleh cuci tangan dan seolah menganggap hal ini menjadi persoalan di lembaga legislatif.
Sementara itu, Komisi III DPR RI menegaskan bahwa pembahasan revisi KUHAP sudah berlangsung panjang sejak Februari 2025. Ketua Komisi III, Habiburokhman, menyatakan bahwa revisi KUHAP mendesak dilakukan agar mampu menjawab perkembangan sistem peradilan pidana modern. Keputusan membawa draf RUU KUHAP ke paripurna pekan ini telah disepakati bulat oleh seluruh fraksi.
Meski demikian, politikus Gerindra itu mengakui tidak semua masukan masyarakat dapat diakomodasi dan meminta maaf atas hal tersebut. "Inilah realitas parlemen, kita harus saling berkompromi," pungkasnya. Dengan berbagai kritik dan tantangan yang ada, proses pengesahan RUU KUHAP ini menjadi ujian bagi komitmen pemerintah dan DPR dalam mewujudkan sistem peradilan pidana yang lebih adil dan transparan.
Kamu harus terdaftar atau login untuk berkomentar Masuk?
redaktur