Bareskrim Polri mencatat sebanyak 332 anak terlibat dalam kasus kerusuhan yang terjadi saat aksi unjuk rasa pada Agustus lalu. Insiden ini tersebar di 11 Kepolisian Daerah (Polda) di Indonesia. Wakil Kepala Bareskrim Polri, Irjen (Pol) Nunung Syaifuddin, mengungkapkan bahwa dari jumlah tersebut, 34 anak telah dinyatakan P21 atau berkasnya lengkap dan siap diserahkan ke Kejaksaan.
Dari total 332 anak, sebanyak 160 anak telah menjalani proses diversi, sementara 37 anak lainnya ditangani melalui pendekatan restorative justice. Selain itu, 28 anak masih berada di tahap satu, dan 73 anak lainnya berada di tahap dua dalam proses hukum mereka. Proses ini menunjukkan upaya Polri dalam menangani kasus anak dengan pendekatan yang lebih humanis.
Dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Sinergi Antar Lembaga untuk Terlindunginya Hak-hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum”, Nunung menyebutkan bahwa Polda Jawa Timur mencatat angka tertinggi dengan 144 anak terlibat. Disusul oleh Polda Jawa Tengah dengan 77 anak, Polda Jabar 34 anak, Polda Metro 36 anak, dan sisanya tersebar di Polda DIY, NTB, Lampung, Kalbar, Sulsel, Bali, dan Sumsel.
Nunung juga mengungkapkan bahwa mayoritas dari anak-anak tersebut masih berstatus pelajar. "Yang menarik, lebih dari 90 persen dari mereka adalah pelajar, mulai dari SMP hingga SMA atau SMK, bahkan ada yang masih mengikuti program kejar paket," ujarnya. Hal ini menunjukkan bahwa banyak anak yang terlibat dalam kerusuhan masih dalam usia sekolah dan memerlukan perhatian khusus.
Berkaca dari data tersebut, Polri mendorong lahirnya rumusan kebijakan lintas sektoral untuk memperkuat penanganan anak yang berhadapan dengan hukum tanpa mengabaikan sisi kemanusiaan. Nunung menyebutkan empat fokus utama dalam FGD kali ini. Pertama, membangun peta jalan nasional penanganan anak yang terlibat masalah hukum. Kedua, menyusun standar operasional prosedur (SOP) dan koordinasi antar lembaga dalam penerapan diversi serta restorative justice.
Ketiga, membuat rencana aksi konkret yang bisa diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Keempat, menguatkan upaya pencegahan, termasuk edukasi, literasi digital, dan peran keluarga serta sekolah. "Semoga FGD ini menghasilkan rekomendasi strategis yang aplikatif dan menjadi pijakan kuat bagi kita semua untuk memperkokoh sistem perlindungan anak di Indonesia," kata Nunung.
Langkah-langkah yang diambil oleh Bareskrim Polri dalam menangani kasus anak yang terlibat kerusuhan menunjukkan komitmen untuk melindungi hak-hak anak dan memastikan penanganan yang lebih manusiawi. Dengan adanya kebijakan lintas sektoral dan fokus pada pencegahan, diharapkan dapat tercipta sistem perlindungan anak yang lebih kuat dan efektif di Indonesia.
Kamu harus terdaftar atau login untuk berkomentar Masuk?
redaktur