
Kasus yang melibatkan Juliana Marins kembali menjadi sorotan publik usai pernyataan dari pakar hukum senior, Yusril Ihza Mahendra. Dalam pernyataannya, Yusril menegaskan bahwa Komisi Hak Asasi Manusia Amerika Serikat tidak memiliki kewenangan untuk mengadili Indonesia terkait kasus tersebut. Hal ini memunculkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat dan pegiat hukum.
Sebagai Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril menjelaskan bahwa yurisdiksi Komisi HAM AS terbatas hanya pada wilayah hukum Amerika. Ia menilai bahwa persoalan yang menimpa Juliana Marins merupakan urusan domestik Indonesia yang seharusnya diselesaikan berdasarkan sistem hukum nasional.
Menurut prinsip hukum internasional, tiap negara berdaulat mengatur urusannya sendiri. Yusril menyatakan bahwa lembaga seperti Komisi HAM AS hanya bisa bertindak jika ada kesepakatan internasional yang memberi kewenangan tersebut. Dalam kasus ini, tidak ada dasar hukum yang mengizinkan lembaga tersebut untuk ikut campur.
Pernyataan Yusril memicu pro dan kontra. Sebagian kalangan mendukung dengan alasan perlunya menjaga kedaulatan hukum negara. Namun, sebagian lainnya menilai bahwa isu HAM bersifat universal dan bisa melibatkan perhatian dunia internasional.
Juliana Marins melaporkan dugaan pelanggaran HAM yang dialaminya. Sebagai aktivis, ia menyuarakan bahwa dirinya diperlakukan tidak adil, dan berharap ada perhatian dari komunitas internasional. Namun, hingga kini penyelesaian kasus tersebut masih menjadi polemik di ranah hukum dan politik.
Pernyataan Yusril menegaskan pentingnya menghargai kedaulatan hukum nasional. Meski begitu, kasus ini juga menyoroti perlunya kerja sama global dalam menangani pelanggaran HAM. Penyelesaian yang adil membutuhkan keseimbangan antara prinsip kedaulatan negara dan perlindungan hak asasi manusia dalam konteks global.
Kamu harus terdaftar atau login untuk berkomentar Masuk?