Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menyampaikan kritik terhadap sistem pemilihan kepala daerah secara langsung. Ia menilai bahwa mekanisme ini kerap menimbulkan konflik sosial akibat perbedaan pilihan politik di masyarakat. Menurut Bahlil, pertentangan antarkelompok pendukung calon seringkali berujung pada perpecahan dan perselisihan di akar rumput.
“Pilkada langsung hanya membuat rakyat bertengkar karena beda pilihan,” ujar Bahlil dalam sebuah diskusi publik di Jakarta. Ia menilai kondisi ini menjadi salah satu alasan utama mengapa Partai Golkar mendorong agar mekanisme pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD.
Merespons dinamika tersebut, Partai Golkar mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) alih-alih langsung oleh rakyat. Menurut Bahlil, sistem tersebut diyakini lebih mampu menjaga stabilitas sosial dan politik di daerah, serta meminimalkan potensi gesekan horizontal.
Ia juga menyoroti bahwa pemilihan langsung kerap menimbulkan biaya politik yang tinggi, yang pada akhirnya membuka celah terhadap praktik korupsi. “Pengeluaran politik yang besar mendorong calon kepala daerah untuk mengembalikan biaya itu saat menjabat,” ungkapnya.
Pernyataan Bahlil dan usulan Partai Golkar menuai tanggapan beragam. Sebagian pihak setuju dengan gagasan tersebut karena dianggap mampu meredam ketegangan sosial dan mengurangi beban biaya politik. Namun, banyak pula yang menolak karena khawatir akan mengurangi ruang partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpin daerah.
Para penolak menilai bahwa pemilihan langsung merupakan bentuk nyata dari demokrasi dan kedaulatan rakyat. Mereka khawatir bahwa jika diserahkan pada DPRD, maka pemimpin daerah hanya akan dipilih oleh segelintir elit politik, bukan hasil aspirasi rakyat secara luas.
Pemilihan kepala daerah secara langsung pertama kali diterapkan di Indonesia pada tahun 2005 sebagai bagian dari agenda reformasi demokrasi. Tujuannya adalah meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Meski begitu, sistem ini tidak luput dari kritik, terutama terkait biaya tinggi, potensi konflik, dan politik uang.
Perdebatan tentang format pemilihan kepala daerah akan terus berlangsung di tengah tuntutan demokrasi dan stabilitas. Usulan pengembalian pemilihan ke DPRD menjadi bagian dari wacana untuk mencari sistem yang lebih efisien dan minim konflik, tanpa mengesampingkan peran rakyat.
Dalam hal ini, diperlukan dialog terbuka antara pemerintah, partai politik, akademisi, dan masyarakat sipil agar keputusan yang diambil nantinya benar-benar mencerminkan kebutuhan demokrasi Indonesia yang sehat dan inklusif.
Kamu harus terdaftar atau login untuk berkomentar Masuk?