Indonesia kini memasuki era baru dalam sejarah politiknya. Lebih dari 75 juta Generasi Z, yang mewakili hampir 28 persen dari total populasi, telah bertransformasi dari sekadar statistik menjadi aktor politik yang nyata. Mereka berada dalam usia produktif, aktif di dunia digital, dan mendominasi basis pemilih. Bersama dengan generasi milenial, Gen Z akan menjadi mayoritas dalam Pemilu 2024 dan berperan penting dalam menentukan arah politik Indonesia selama dua dekade ke depan.
Generasi Z lahir di tengah era digitalisasi, krisis iklim, pandemi, dan disrupsi teknologi. Kondisi ini membentuk kesadaran politik mereka yang lebih personal, fleksibel, dan transnasional. Meskipun mereka menganggap demokrasi sebagai hal yang penting, banyak dari mereka merasa kecewa dengan praktik politik yang koruptif dan birokratis. Namun, survei menunjukkan bahwa 77,5 persen dari mereka masih percaya bahwa partisipasi politik dapat mengubah kebijakan publik. Paradoks ini menjadikan Gen Z seperti bara dalam sekam, mudah menyala ketika bersentuhan dengan isu keadilan sosial atau ketimpangan ekonomi.
Keterhubungan global membuat gerakan Gen Z bersifat transnasional, dari Hong Kong, Chile, hingga Nepal dan Madagaskar. Mereka digerakkan oleh solidaritas digital dan budaya internet yang memungkinkan isu lokal menjadi agenda global. Fenomena "political blitzer" menggambarkan karakter gerakan Gen Z yang spontan, masif, cepat, dan tanpa struktur formal. Protes dapat meletus hanya karena satu isu viral di platform seperti TikTok atau X. Dalam hitungan jam, ribuan anak muda bisa turun ke jalan atau menguasai linimasa media sosial.
Gerakan politik Gen Z yang cair ini sulit dipatahkan karena tidak ada pemimpin tunggal yang bisa ditangkap atau struktur yang bisa dibubarkan. Namun, kekuatan ini juga menjadi kelemahan. Banyak gerakan kehilangan arah strategis dan cepat meredup ketika perhatian publik berpindah. Fragmentasi isu membuat solidaritas mereka rapuh; semua bergerak cepat, tetapi jarang menghasilkan perubahan kelembagaan yang nyata. Risiko yang jelas adalah krisis kepercayaan terhadap institusi, turunnya legitimasi pemerintah, hingga manipulasi algoritma oleh aktor eksternal.
Pertanyaannya, di mana posisi partai politik dalam pusaran ini? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa partai sering gagal membaca aspirasi Gen Z. Mekanisme rekrutmen masih dikuasai oleh dinasti politik dan jejaring oligarki, sehingga ruang bagi anak muda berbakat kerap tertutup. Kaderisasi berjalan formalistik, lebih sebagai ritual internal ketimbang proses substantif membangun kapasitas politik generasi baru. Inovasi digital partai sering hanya sebatas pencitraan di media sosial, bukan strategi komunikasi dua arah yang memberi ruang partisipasi.
Dalam ekosistem demokrasi, partai politik tetap menjadi institusi yang paling relevan dan paling mungkin bertanggung jawab untuk merangkul Generasi Z. Partai harus membuka ruang kaderisasi inklusif dengan melibatkan anak muda dalam struktur organisasi secara nyata, bukan simbolis. Transparansi dalam pencalonan legislatif juga penting agar anak muda melihat peluang berkompetisi tanpa terhalang patronase atau dinasti politik. Inovasi kampanye berbasis digital yang menghadirkan dialog interaktif, bukan sekadar pencitraan, juga diperlukan.
Ruang digital kini menjadi panggung utama politik Gen Z. Dari petisi daring, boikot produk, hingga hashtag activism, mereka membangun demokrasi dengan cara baru yang cair, cepat, dan kreatif. Partai politik harus bertransformasi menjadi fasilitator dialog digital, membuka percakapan dua arah, dan memberi ruang kritik sekaligus ide dari anak muda. Bila ini dilakukan, ruang digital tidak hanya menjadi arena konflik, tetapi berubah menjadi kanal produktif yang memperkuat legitimasi demokrasi sekaligus menjaga relevansi partai di mata Gen Z.
Pada akhirnya, Generasi Z adalah kenyataan politik, bukan ancaman. Mereka adalah energi yang bisa memperkuat demokrasi atau mengguncang stabilitas, tergantung bagaimana negara mengelolanya. Bonus demografi hanya akan menjadi berkah bila aspirasi mereka diakomodasi dengan serius. Partai politik perlu sadar bahwa relevansi mereka tidak bisa lagi diukur dari loyalitas tradisional, tetapi dari kemampuannya merangkul energi politik baru. Bila berhasil membuka ruang partisipasi, memperjuangkan keadilan hukum, menjamin perlindungan sosial, dan menghadirkan dialog digital yang sehat, partai politik akan tetap relevan sebagai kanal perubahan. Semoga…
Kamu harus terdaftar atau login untuk berkomentar Masuk?
redaktur